Februari 02, 2024

Langit diatas air mata part #04



4 Melangkah maju
...
[Laras Anggraini]
Tujuh tahun berlalu seperti kemarin sore, sedangkan aku belum memejamkan mata. Lelah dan pengap. Meski kami berjanji untuk mencari kebahagiaan baru, Reta lebih seperti ibu tiri yang baik hati mengabsenku saat jam-jam makan.

Reta:
Makan siang? Gue punya cerita, La. Teman kerja yang baru pindah nembak gue. So, nikmat mana lagi yang harus gue dustakan?

Laras:
Nikmatin saja idup elo, Ta. Besok gue libur. Elo bisa curhat sepuasnya.
Reta:
Cih, ngambek. Gak asyik banget jadi cewek, Bu Laras!

Laras:
-emoticon sedih-
Hampir setiap hari Reta melaporkan aktivitasnya. Bukan aku tidak berterima kasih, tapi kadang itu mengganggu. Menjadi guru kesenian menuntutku untuk selalu terlihat bahagia di depan murid sekolah di usia yang selalu mempertanyakan segala hal.
Akan tetapi, pekerjaan ini yang paling cocok bagiku untuk melepaskan segala tentang Radit. Setidaknya di siang hari. Aku membutuhkan topeng supaya bisa bernapas dan hidup. Memikirkan Radit dan perasaan yang tidak mau hilang.
“Bu Laras, ada paket buat ibu.” penjaga sekolah, Pak Darman menyodorkan sebuah kotak seukuran dus mie instan di meja.
“Terima kasih, pak.” kekehku mengangguk dan tersenyum.
Akhirnya, paket berisi cat lukis baru datang. Kegiatan pekan depan adalah melukis bebas. Anak-anak kelas sepuluh paling menyukai pelajaran yang tidak mengharuskan mereka berpikir terlalu berat. Namun, mereka juga tidak tahu jika seni melukis adalah salah satu proses berpikir yang hanya berlaku bagi seniman sejati.
Tidak banyak yang bisa aku lakukan untuk melupakan Radit. Karena setiap malam aku terbangun dengan perasaan penyesalan yang menyesakkan dada. Sesi konseling dengan psikiater atau psikolog tidak berhasil. Hanya beberapa kali resep obat tidur yang tidak berguna.
“Bu Laras, tidak pulang? Sudah jam 4 sore, loh.” suara Ibu Kepala Tata Usaha serta tepukan dibahu mengagetkanku yang setengah melamun.
“Iya bu, ini mau beres-beres.”
“Nah, ini cat lukis yang Bu Laras cerita kemarin, ya? Saya tidak sabar melihat lukisan Bu Laras lagi.”
“Hehe, Bu Maya suka bercandain saya, deh. Melukis hanya sebatas hobi saja, kok.” tersenyum malu dan terasa tertohok karena tidak banyak orang tahu jika apa yang aku lakukan hanyalah sebuah kebohongan.
“Tapi serius loh, Bu Laras. Saya suka lukisan ibu yang waktu itu. Taman belakang sekolah kita jadi lebih bagus di lukisan Bu Laras. Apa saya boleh pesan lukisan ke ibu?” senyum Bu Maya memaksaku ikut tersenyum.
Permintaan dibuatkan lukisan adalah bencana buatku.
“Saya usahakan, Bu. Tapi saya tidak bisa janji.” berat sekali mengatakan ini kepada rekan kerja.
“Bu Laras ini selalu saja begitu. Tapi ini saya serius banget. Satu bulan lagi salah satu keluarga besar saya nikahan. Jika Bu Laras bantu saya, lukisan itu nanti buat kado pernikahan.” Bu Maya mempertahankan senyum. “Untuk akomodasi alat dan kuas, Bu Laras enggak usah khawatir.”
“Saya usahakan ya, Bu. Kalau boleh tahu ada referensi untuk lukisannya?” aku tidak bisa menolak. Bu Maya akan berpikir kalau aku perhitungan dengan jasa melukis.
Padahal bukan itu letak masalahnya. Hanya saja aku malas mengkomersilkan hasil lukisanku.
“Nah begitu dong, Bu Laras. Nanti saya WA contoh lukisan.” sekali lagi Bu Maya menepuk bahu dan pergi.
Dengan hati-hati aku letakkan paket cat air di kolong meja. Membereskan meja yang acak-acakan lalu bergegas keluar ruang guru. Masih ada beberapa murid karate yang berlarian di sekitar lapangan. Atau anggota OSIS sekolah yang batu keluar dari markas besar.
Atau satu dua pasukan PMR yang tugas piket di ruangan sucinya. Aku tidak bisa lagi mengingat kenangan sekolah bersama Radit. Duniaku berubah jungkir balik sejak kecelakaan itu.
Kecelakaan yang tidak bisa aku lupakan dan tak akan mungkin terlupakan. Kecelakaan yang membuat seorang Laras Anggraini berubah 180 derajat. Anehnya, aku sangat menikmati hari-hariku. Tertekan jika berbicara dengan terapis yang berkata omong kosong.
Kenapa aku tidak bisa hidup dengan duka yang akan aku bawa mati, tanpa mereka ikut campur? Apa aku salah jalan atau abnormal? Tidak. Aku masih waras dengan kesedihan dan penyesalan yang aku coba salurkan dengan cara positif.
“Huh, sore ini cerah seperti kemarin.” suara yang keluar dari mulutku sendiri menyanggah indahnya hari ini.
Hari-hari yang seperti biasa dan luar biasa. Aku harus berjuang selalu tersenyum dan bersabar. Tapi bukan berarti kau menyesal. Hanya saja, kadang rasa lelah itu datang secara tiba-tiba.
“Selamat sore, Bu Laras.” seorang siswi memakai seragam karate membungkuk hormat.
Dia dan temannya berjalan menuju kelas dengan wajah lelah yang bahagia. Masa laluku yang masih menyesakkan. Masa depan yang tidak bisa aku dapatkan karena rencana Tuhan berkata lain.
Drrrttt! Drrrttt!
“Halo, Bu Laras? Masih di sekolah?” suara Bu Maya tergesa-gesa. Bunyi klakson jalanan sebagai latar belakangnya.
“Iya, Bu Maya. Ini baru mau pulang. Ada apa, bu?” jika bukan karena sesuatu hal mendesak, tidak mungkin Bu Maya menelepon di luar sekolah.
“Besok ada penyambutan ketua Yayasan yang baru. Agak mendadak sebenarnya. Jadi saya berniat meminta tolong cek ruang meeting, buket bunga yang tadi saya beli masih aman?”
“Baik, bu. 10 menit lagi saya kabari.” sahutku sembari menutup telepon.
-TBC-

Share:

Januari 27, 2024

Langit diatas air mata part #03

 Langit diatas air mata part #03




3 Batu Nisan 

... 

 

Tidak butuh waktu lama, Laras ditemani Mama dan Papa datang ke pemakaman Radit. Waktu begitu cepat, sudah satu pekan setelah Radit dikubur. Laras yang menangis karena baru memiliki kesempatan berkunjung. 

 

Selain menangis Laras hanya berdiri diam. Batu nisan bertuliskan nama Radit terukir jelas. Bahkan, dari jauh pun akan terlihat dan terbaca nama itu. Laras semakin terisak tanpa suara. 

 

Laras masih tidak percaya dengan penglihatan yang. Sekali lagi, Laras mengecek matanya untuk memastikan kalau semua yang Laras lihat bukan mimpi. 

 

Jika Laras bukan sedang berada di tempat umum, mungkin saat ini Laras sudah menangis meraung-raung. Kehilangan sahabat dalam sebuah kecelakaan pasti akan menimbulkan luka tersendiri.  

 

Radit, gue minta maaf. Gue enggak bisa jaga elo seperti janji gue waktu itu. Radit, tolong maafkan gue, ya.” Bisik Laras. 

 

Jika saja kaki Laras bisa digerakkan untuk berjongkok maka akan Laras lakukan. Namun ternyata tidak bisa.  

 

Permukaan tanah yang basah akibat hujan semalam semakin membuat Laras tidak bisa bergerak bebas. Laras akhirnya pasrah dengan tetap berdiri di samping batu nian Radit. 

 

“Ayo pulang, Laras. Sudah lama kita disini.  Kaki kamu juga belum sembuh benar. Jangan paksa Karimun untuk terus berdiri.” Kata Papa lembut. 

 

Tangan besar Papa merangkul pundak Laras dan menuntun Laras meninggalkan pemakaman. Tidak bisa Laras cegah ajakan Papi karena tubuhnya pun masih belum pulih. 

 

“Papa, Mama, dengan kaki seperti ini Laras tidak bisa lagi jadi atlet Silat, kan?” kata Laras di dalam mobil. 

 

Papa dan Mama terdiam. Kedua orang tua itu saling melemparkan pandangan. Bagaimana mungkin Laras sampai berpikir sejauh itu? 

 

Biarkan kaki kirimi istirahat. Kita lihat nanti setelah kaki kamu sembuh benar. Sekarang yang perlu Laras lakukan adalah cepat sembuh dan jangan bersedih lagi.” Kata Mama lembut. 

 

Meski yang Mama katakan benar. Dan Mama tahu kalau Laras tidak bisa dihibur dengan kalimat  apa pun. Jadi tidak mungkin semua kalimat yang Mama atau Papa ucapkan akan langsung didengar Laras. 

 

Laras masih terdiam di tempatnya. Sampai gerimis perlahan datang dan Papa harus menggendong Laras masuk ke dalam mobil. Sepanjang perjalanan pulang Laras terdiam. 

 

“..” 

 

“Kamu mau ikut kita belanja?” tanya Reta, sahabat karib Laras. 

 

“Enggak. Terima kasih.” sahut Laras lesu. 

 

“Laras. Sudah tiga bulan lebih kamu berduka. Tangis elo enggak akan membangkitkan Radit dari kuburan. Kamu harus bangkit dan belajar menerima kenyataan. Kamu harus membuka lembaran baru.” guman Reta menggelengkan kepalanya tidak mengerti. 

 

Bagaimana gadis ceria seperti Laras bisa berubah pendiam hanya dalam satu malam. Kecelakaan yang membuat Radit meninggal telah mengubah kepribadian Laras 180 derajat. Reta yang selalu berusaha cerita pun pada akhirnya menyerah. 

 

“Aku enggak meminta elo untuk mengerti. Tapi kita pernah jadi sahabat dan aku akan terus menganggap kamu sahabat terbaik. Hanya saja kali ini saja, aku mohon kamu jangan ikut campur. Bukan hanya kehilangan Radit, aku juga harus kehilangan kesempatan menjadi altit silat. Kamu pikir dua hal itu sanggup aku lewati dengan tersenyum?” Laras hampir menangis saat mengatakan hal itu. 

 

Reta mendesah. Reta memeluk sahabatnya. Untuk kali ini Reta bisa memahami kalau teman baik laki-laki Laras dan cita-cita Laras harus hilang disaat yang bersamaan. Remaja mana yang akan tetap tersenyum jika seperti Laras. 

 

“Maafkan, aku ya. Laras, kamu boleh bersedih. Tapi jangan terlalu lama. Mari kita cari cara supaya kamu tidak lagi sedih, seperti kamu harus memiliki cita-cita baru. Aku akan membantu sebisa mungkin.” ucap Reta lembut. Reta juga tidak mau kehilangan Laras. 

-TBC- 

Share: