Januari 27, 2024

Langit diatas air mata part #03

 Langit diatas air mata part #03




3 Batu Nisan 

... 

 

Tidak butuh waktu lama, Laras ditemani Mama dan Papa datang ke pemakaman Radit. Waktu begitu cepat, sudah satu pekan setelah Radit dikubur. Laras yang menangis karena baru memiliki kesempatan berkunjung. 

 

Selain menangis Laras hanya berdiri diam. Batu nisan bertuliskan nama Radit terukir jelas. Bahkan, dari jauh pun akan terlihat dan terbaca nama itu. Laras semakin terisak tanpa suara. 

 

Laras masih tidak percaya dengan penglihatan yang. Sekali lagi, Laras mengecek matanya untuk memastikan kalau semua yang Laras lihat bukan mimpi. 

 

Jika Laras bukan sedang berada di tempat umum, mungkin saat ini Laras sudah menangis meraung-raung. Kehilangan sahabat dalam sebuah kecelakaan pasti akan menimbulkan luka tersendiri.  

 

Radit, gue minta maaf. Gue enggak bisa jaga elo seperti janji gue waktu itu. Radit, tolong maafkan gue, ya.” Bisik Laras. 

 

Jika saja kaki Laras bisa digerakkan untuk berjongkok maka akan Laras lakukan. Namun ternyata tidak bisa.  

 

Permukaan tanah yang basah akibat hujan semalam semakin membuat Laras tidak bisa bergerak bebas. Laras akhirnya pasrah dengan tetap berdiri di samping batu nian Radit. 

 

“Ayo pulang, Laras. Sudah lama kita disini.  Kaki kamu juga belum sembuh benar. Jangan paksa Karimun untuk terus berdiri.” Kata Papa lembut. 

 

Tangan besar Papa merangkul pundak Laras dan menuntun Laras meninggalkan pemakaman. Tidak bisa Laras cegah ajakan Papi karena tubuhnya pun masih belum pulih. 

 

“Papa, Mama, dengan kaki seperti ini Laras tidak bisa lagi jadi atlet Silat, kan?” kata Laras di dalam mobil. 

 

Papa dan Mama terdiam. Kedua orang tua itu saling melemparkan pandangan. Bagaimana mungkin Laras sampai berpikir sejauh itu? 

 

Biarkan kaki kirimi istirahat. Kita lihat nanti setelah kaki kamu sembuh benar. Sekarang yang perlu Laras lakukan adalah cepat sembuh dan jangan bersedih lagi.” Kata Mama lembut. 

 

Meski yang Mama katakan benar. Dan Mama tahu kalau Laras tidak bisa dihibur dengan kalimat  apa pun. Jadi tidak mungkin semua kalimat yang Mama atau Papa ucapkan akan langsung didengar Laras. 

 

Laras masih terdiam di tempatnya. Sampai gerimis perlahan datang dan Papa harus menggendong Laras masuk ke dalam mobil. Sepanjang perjalanan pulang Laras terdiam. 

 

“..” 

 

“Kamu mau ikut kita belanja?” tanya Reta, sahabat karib Laras. 

 

“Enggak. Terima kasih.” sahut Laras lesu. 

 

“Laras. Sudah tiga bulan lebih kamu berduka. Tangis elo enggak akan membangkitkan Radit dari kuburan. Kamu harus bangkit dan belajar menerima kenyataan. Kamu harus membuka lembaran baru.” guman Reta menggelengkan kepalanya tidak mengerti. 

 

Bagaimana gadis ceria seperti Laras bisa berubah pendiam hanya dalam satu malam. Kecelakaan yang membuat Radit meninggal telah mengubah kepribadian Laras 180 derajat. Reta yang selalu berusaha cerita pun pada akhirnya menyerah. 

 

“Aku enggak meminta elo untuk mengerti. Tapi kita pernah jadi sahabat dan aku akan terus menganggap kamu sahabat terbaik. Hanya saja kali ini saja, aku mohon kamu jangan ikut campur. Bukan hanya kehilangan Radit, aku juga harus kehilangan kesempatan menjadi altit silat. Kamu pikir dua hal itu sanggup aku lewati dengan tersenyum?” Laras hampir menangis saat mengatakan hal itu. 

 

Reta mendesah. Reta memeluk sahabatnya. Untuk kali ini Reta bisa memahami kalau teman baik laki-laki Laras dan cita-cita Laras harus hilang disaat yang bersamaan. Remaja mana yang akan tetap tersenyum jika seperti Laras. 

 

“Maafkan, aku ya. Laras, kamu boleh bersedih. Tapi jangan terlalu lama. Mari kita cari cara supaya kamu tidak lagi sedih, seperti kamu harus memiliki cita-cita baru. Aku akan membantu sebisa mungkin.” ucap Reta lembut. Reta juga tidak mau kehilangan Laras. 

-TBC- 

Share:

0 comments:

Posting Komentar